Aliran Khawarij
KHAWARIJ
A. Pengertian Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar.
Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok
orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan
mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase)
dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang
Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi,
nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih
suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang
yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah,
sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga
istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah,
karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma
illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa
Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Secara
historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al‑Fatawa,
“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Kemudian
hadits‑hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah
hadits‑hadits yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan
dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam
Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat
bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah
saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama
maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman
dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana‑mana. Hal
seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu
sangat pentingnya apalagi buku‑buku yang membahas masalah ini masih
sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati‑hati
terhadap firqah ini.
B. Awal Mula Munculnya Dasar-Dasar Pemikiran Khawarij
Sebenarnya awal mula kemunculan pemikiran khawarij, bermula pada saat masa Rasulullah SAW.
Ketika
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan
perang di desa Ju’ronah -pasca perang Hunain- beliau memberikan seratus
ekor unta kepada Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin Harits. Beliau juga
memberikan kepada beberapa orang dari tokoh quraisy dan pemuka-pemuka
arab lebih banyak dari yang diberikan kepada yang lainnya. Melihat hal
ini, seseorang (yang disebut Dzul Khuwaisirah) dengan mata melotot dan
urat lehernya menggelembung berkata: “Demi Allah ini adalah pembagian
yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah”. Atau dalam riwayat
lain dia mengatakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum berbuat adil!”.
Sungguh,
kalimat tersebut bagaikan petir di siang bolong. Pada masa generasi
terbaik dan di hadapan manusia terbaik pula, ada seorang yang berani
berbuat lancang dan menuduh bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
tidak berbuat adil. Mendengar ucapan ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam dengan wajah yang memerah bersabda:
“Siapakah
yang akan berbuat adil jika Allah dan rasul-Nya tidak berbuat adil?
Semoga Allah merahmati Musa. Dia disakiti lebih dari pada ini, namun dia
bersabar.” (HR. Bukhari Muslim)
Saat
itu Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu meminta izin untuk membunuhnya,
namun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarangnya. Beliau
menghabarkan akan munculnya dari turunan orang ini kaum reaksioner
(khawarij) sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikutnya:
“Sesungguhnya
orang ini dan para pengikutnya, salah seorang di antara kalian akan
merasa kalah shalatnya dibandingkan dengan shalat mereka; puasanya
dengan puasa mereka; mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak
panah dari buruannya.” (HR. al-Ajurri, Lihat asy-Syari’ah, hal. 33)
Demikianlah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir akan munculnya
generasi semisal Dzul Khuwaisirah -sang munafiq-. Yaitu suatu kaum yang
tidak pernah puas dengan penguasa manapun, menentang penguasanya
walaupun sebaik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka akan keluar
dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Yaitu masuk
dari satu sisi dan keluar dari sisi yang lain dengan tidak terlihat
bekas-bekas darah maupun kotorannya, padahal ia telah melewati darah dan
kotoran hewan buruan tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada dari kaumku, orang yang membaca al-Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka
akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari
buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali padanya. Mereka adalah
sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim)
Dari
riwayat ini, kita mendapatkan ciri-ciri dari kaum khawarij, yakni
mereka dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan indah; tapi tidak
memahaminya dengan benar. Atau dapat memahaminya tapi tidak sampai ke
dalam hatinya. Mereka berjalan hanya dengan hawa nafsu dan emosinya.
Ciri
khas mereka lainnya adalah: “Mereka membunuh kaum muslimin dan
membiarkan orang-orang kafir” sebagaimana disebutkan dalam hadits
berikut:
“Sesungguhnya
akan keluar dari keturunan orang ini satu kaum; yang membaca al-Qur’an,
namun tidak melewati kerongkongannya. Mereka membunuh kaum muslimin dan
membiarkan para penyembah berhala. Mereka akan keluar dari Islam ini
sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Jika sekiranya aku
menemui mereka, pasti aku bunuh mereka seperti terbunuhnya kaum ‘Aad.”
(HR. Bukhari Muslim)
Sebagaimana
yang telah mereka lakukan terhadap seorang yang shalih dan keluarganya
yaitu Abdullah –anak dari shahabat Khabbab bin Art radhiallahu ‘anhu.
Mereka membantainya, merobek perut istrinya dan mengeluarkan janinnya.
Setelah itu dalam keadaan pedang masih berlumuran darah, mereka
mendatangi kebun kurma milik seorang Yahudi. Pemilik kebun ketakutan
seraya berkata: “Ambillah seluruhnya apa yang kalian mau!” Pimpinan
khawarij itu menjawab dengan arif: “Kami tidak akan mengambilnya kecuali
dengan membayar harganya”. (Lihat al-Milal wan Nihal)
Maka
kelompok ini sungguh sangat membahayakan kaum muslimin, terlepas dari
niat mereka dan kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka menghalalkan
darah kaum muslimin dengan kebodohan. Untuk itu mereka tidak segan-segan
melakukan teror, pembunuhan, pembantaian dan sejenisnya terhadap kaum
muslimin sendiri.
Ciri
berikutnya adalah: kebanyakan di antara mereka berusia muda, dan bodoh
pemikirannya karena kurangnya kedewasaan mereka. Mereka hanya
mengandalkan semangat dan emosinya, tanpa dilandasi oleh ilmu dan
pertimbangan yang matang. Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat
lainnya, ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Akan
keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh
pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling
baik. Keimanan mereka tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari
agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Di mana saja
kalian temui mereka, bunuhlah mereka. Sesungguhnya membunuh mereka akan
mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam menjuluki mereka dengan gelaran yang sangat
jelek yaitu “anjing-anjing neraka” sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu
Abi Aufa bahwa dia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“
Khawarij adalah anjing-anjing neraka. “ (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As
Sunnah dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Dlilalul Jannah)
C. Sejarah Kelahiran Khawarij
Seperti
yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari
komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh
militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin
tidak terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip
masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam
perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang saudara itu dengan
“Tahkim dibawah Al-Qur’an”.
Semula
Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan
hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun
sebagian kecil dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra.
menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat
mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang diambil Ali
ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu
lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama
Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin
Abbas ra.
Anehnya,
kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran
kubu Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim.
Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah
ra. Sebagai khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai
dengan sepihak bahwa genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat
dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya
menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah
mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah
melanggar prinsip dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan
Tuhan (lâ hukma illa lillâh). (Abu Zahrah: 60)
Dan
sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa
maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang
telah melangar prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga
Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka
telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)
Demikian
watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok
paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi
penyabab utama lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah
kelompok yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab
pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional
dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang
dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada
sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu
kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar
kelompoknya.
Walaupun
keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan
komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras
pendirian. Prinsip dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan”
mereka tafsirkan secara dzohir saja. (Abu Zahrah: 63)
Bukan
hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme
sifat dari kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan
Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab
ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan
al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa Allah
sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar
golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW. (Abu
Zahrah: 63-64).
Nama
khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja
keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra.
namun dari mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar
kharaja yang terdapat pada QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang
keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya
(Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai
Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan
dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk
mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka
juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di
pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok
ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok
dengan prinsip dasar “lâ hukma illa lillâh”. (Syalabi: 309).
D. Latar Belakang Ekstremitas Khawarij
Seperti
yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag
ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali
ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali
menjadi kafir. Mereka memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya
untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun
dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan
‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang
menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi
juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan
lain-lain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka
perdebatkan apakah ‘Ali hanya kafir atau musyrik.
Untuk
mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi,
mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah,
tidak hanya menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min
an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala
mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali
sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali Allah
menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah).
Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan
pendapat-pendapat mereka.
Yang
menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka
memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita
perlu melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al–
Qurrâ’, sebutan mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah
istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung.
Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah
persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik),
tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan
sosial politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita
memahami latar belakang ekstremitas Khawarij.
Melihat
pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap
politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’
bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman
Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang
pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University,
Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai
‘para penetap’ walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal
Al-Qur’an.
Uraian
yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah
al-Qurrâ’ ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal
Perpecahan Umat Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi
doktor yang bersangkutan di Exterter University, England
dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya
para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn ‘Atsam cenderung
menafsirkan al-Qurrâ’ sebagai para penghafal Al-Qur’an. Kekeliruan itu
mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Sa’idi ibn ’Ash dalam sebuah
khutbah di Masjid besar di Kufah yang mengatakan; “Ahabbukum ilayya
akramukum li kitâbillah.
Istilah-istilah
lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama
yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh,
sufahâ, rijâl min qurâ’ ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli
al kufah dan lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna
penghafal-penghafal Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra’
itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf,
orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau
menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang
yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah disingkirkan dari
jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman.
Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang
pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup
dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka,
mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati.
Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan.
Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits,
mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh
karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang
sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang
tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat
mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut
paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil. Di sinilah
letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah
menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang
sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap
penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
Khawarij
tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman
ibn ‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap
‘Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan),
tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang
ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya
itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak
dibagi-bagi, tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya
dibagi-bagi antara para veteran perang penaklukan terhadap wilayah
tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka sendiri
hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat
besar ini. ‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara
terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara
lain ‘Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah
dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad
ini. Kelompok Qurrâ’ dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran
mereka secara berkesinambungan di Iraq
kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan,
dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak
lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan
‘Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan
kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka
dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka.
Sebagai
manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini
menghalang-halangi kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk
oleh ‘Utsman–memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai
Gubernur dan memaksa ‘Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.
E. Sifat‑sifat Khawarij
1. Mencela dan Menyesatkan
Orang‑orang
Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan
Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau
terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi
terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap
kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain.
Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya mereka
saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan
kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2. Buruk Sangka
Fenomena
sejarah membuktikan bahwa orang‑orang Khawarij adalah kaum yang paling
mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw.
bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh
Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar
menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar‑pembesar
dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam
rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai
nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3. Berlebih‑lebihan dalam ibadah
Ini
dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat
sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya karena cuma
satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam,
jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka
‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya
bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah
orang‑orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin
Khattab, masih tidak ada apa‑apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan
kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya ibadah mereka.
Karena itu mereka menganggap ibadah kaum yang lain belum ada apa-apanya.
4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya
Hadits
Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam,
tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan,
“Ketika Abdullah bin Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya bertemu
dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk
menyampaikan hadits‑hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian
Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,
“Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan….”
Mereka
bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab
Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan
isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya.
Di
sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang
jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang
lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang
itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah
melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi
itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi
tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan
membayar tebusan.
5. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang‑orang Khawarij umurnya masih muda‑muda yang hanya mempunyai bekal semangat.
6. Sedikit pemahamannya
Disebutkan
dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah
pada manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an dan kembali padanya, tetapi
mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa
Al‑Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan
membahayakannya.
7. Nilai Khawarij
Orang‑orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., “Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.”
8. Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al‑Masih Ad‑Dajjal”
9. Kedudukan Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.
10. Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”
No comments:
Post a Comment