PAHAM KALAM ASY’ARIYAH
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu kalam dalam lintasan sejarah Islam,
tampaknya tidak bisa terlepas dari peranan kelompok Asy’ariyah. Hal itu
dibuktikan dengan keberhasilan Asy’ariyah dalam membendung arus paham
Muktazilah sejak awal kemunculannya hingga pada masa-masa berikutnya.
Pergolakan antara dua kelompok tersebut terus terjadi baik dalam lingkup
kecil maupun besar.
Jika dikelompokkan, pergolakan antara kedua
madzhab kalam ini terjadi pada periode yang kedua, yaitu periode
perdebatan dalam masalah-masalah akidah. Adapun periode pertama dalam
masalah keyakinan ialah periode iman, membenarkan, dan menerima apa yang
disampaiakan oleh Rasulullah.
Makalah ini akan lebih memfokuskan
pembahasan pada paham kalam Asy’ariyah dan merupakan tulisan yang berada
di bawah judul besar Pergolakan antara Asy’ariyah dan Muktazilah.
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah
adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan
Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi
Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin
Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw.
Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian
ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari
dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di
Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi,
seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar
ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah
ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah
seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan
permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan
kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok
Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya
berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian
sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang
berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain
menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan
Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber
lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi
melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah
madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang
benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh
hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua,
dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam
mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri
selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya.
Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan
memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan
menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya
menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul
Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang
pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para
shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau
hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan
sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira
selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk
akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan
kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang
berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah
mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan
mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama
hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi
dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan
sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah,
tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya.
Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya
kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran.
Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki,
wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau
tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang
bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan
ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau
para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah,
tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
Pada
periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di
dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis
beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada
masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan
akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu
itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat
yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam
mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang
bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting
yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah
Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan
panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok
Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap
paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar
Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan
hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan
dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini
menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq
dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin
berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada
di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad
adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi
negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta
sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar
ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah
periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah
Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di
seluruh dunia.
B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah
dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam
yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana
beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang
selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan
Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang
masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan
yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah
dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam
pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan
lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari
syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman
kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari
Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah
(keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab
dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai
"As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya
masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi
kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat
dari syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang
mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah
shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak
diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu
Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama,
mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah
shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum,
menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa
yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan
ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang
dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka
dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal,
Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka
maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan
ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab
Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah
shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika
awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan
bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika
terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu
kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits
mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak
di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus
Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai
laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan
pula Rafidli.”
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan
negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak
untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka
menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat
dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam
Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar
atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah
dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta
munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan
Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari
keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah
terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang
berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah,
Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap
berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan
demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk
menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak
hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah
dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah
berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar) dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa
jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir
(pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan
haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang
Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah
madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini
adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits,
Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka
(para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima'
(berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi
satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan
pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para
ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun
bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini
(Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah
mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para
ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'.
Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir
firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih
berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun
orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah
sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa
Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar)
kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang
lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah
mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat
menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di
antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di
tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya
dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama
Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah
digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak
menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi
terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari
tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut
memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai
puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun,
Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni
tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang
dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an
tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang
qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti
kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk
yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap
mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian
dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah
muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi
barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya
Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi
Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan
istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka
mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang
dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.
Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah,
Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan
Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah
dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran
Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa
Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat
Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan
sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan
Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah,
perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara
tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata
diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan
Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama
mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka
berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu
makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda
dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan
memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan
dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan
Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang
mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur
ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada
pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya
sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan
pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat
jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa
ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik
jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan
secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis
Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah
wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan
Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa
Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah
berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di
atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu
adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah
wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu
Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang
mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus
Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa
Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan
tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
1.
Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah
dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat
merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus
Shalih dalam banyak sebab.
2. Bahwa penggunaan mereka terhadap
istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri
dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama
Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini.
Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan
madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.
Sayangnya,
Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham
Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa
Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki
dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai
lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan
Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa
selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
Jadi,
makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok
Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna
khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan
aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1.
Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat,
seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak
dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan
lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5.
Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka
menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai
anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak
seperti apa pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah
bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada
iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir,
dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah,
yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan
amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti
keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir.
Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau
memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya,
itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun
tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an
itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu
yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini
bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk.
Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut
Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya,
Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena
Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan
memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun
yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus
pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut
Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan
kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada
para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Koreksi atas pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad
Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima
ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan
manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan
hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah.
Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata
ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai
andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya
memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang
juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang
dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme
al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan
(ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai
penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan
seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus,
sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan
terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal
jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali
pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1.Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.
2.Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3.Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4.Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5.Tuhan
tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah)
manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan
boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat
Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang
ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah
dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah
mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari
kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa.
Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka
yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal
jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
PENUTUP
Pembahasan
di atas menunjukkan bahwa kelompok Asy’ariyah muncul karena
ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari terhadap argumen dan
pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Dalam
perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam pemahaman
akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.
Selanjutnya,
pemikiran Asy’ari dilanjutkan dan disebarkan oleh para muridnya. Hanya
saja, pemikirannya tersebut tidak diambil seratus persen, tetapi ada
yang dibenahi dan dikoreksi. Paham Asy’ariyah yang disebarkan oleh para
muridnya, tampaknya bukanlah pemahaman murni Asy’ari pada periode yang
ketiga dari perjalanan pemahaman akidahnya. Oleh karena itu, dalam
pengertian umum ia tidak bisa disamakan dengan ahlus sunnah wal jamaah.
Adapun
pergolakan antara Asy’ariyah dan Muktazilah di antaranya terjadi dalam
beberapa permasalahan, seperti Al-Qur’an, sifat Allah, dan status pelaku
dosa besar. Semoga pergolakan tersebut dapat semakin mendewasakn umat
Islam dalam berpikir dan sekaligus mendorong mereka untuk selalu
berpegang pada akidah yang benar, ahlus sunnah wal jamaah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Su’ud. 2003. Islamologi, Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Abul Hasan Al-Asy’ari tt. Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah.
Abul Hasan Al-Asy’ari. 2000. Al-Luma’ fir Rad Ahlul Zaigh wal Bida’. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah.
Abdul Akhir Hammad AL-Ghunaimi. 2001. Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah. Solo: Pustaka At-Tibyan.
Ahmad
Mahmud Shubhi. 1981. Fi Ilmil Kalam, Dirasah Falsafiah li Ara’il Firaq
Al-Islamiyah fi Ushulid Din. Beirut: Darun Nahdhah Al-Arabiyyah.
Fazlur Rahman. 2002. Gelombang Perubahan dalam Islam, Studi tengtang Fundamentalisme Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Jalal Muhammad Abdul Hamid Musa. 1982. Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha. Beirut: Darul Kutub Al-Lubnani.
Richard C. Martin dkk. 2002. Post Muktazilah. Yogyakarta: Ircishaod.
Majalah As-Sunnah edisi 10/I/1415-1994.
Situs Internet:
http://www.almanhaj.or.id/content/962/slash/0
http://www.eramuslim.com/ustadz/aqd/6c21145927-paham-asy039ari.htm
http://andaleh.blogsome.com/2006/03/17/p4/